Morowali dikenal dengan daerah tambang yang tengah berkembang pesat. Saat berkunjung ke bekas kerajaan Bungku ini, kami sempat lewat di areal pertambangan timah dan nikel, Senin 16 Mei 2016.

Baca Juga cerita sebelumnya: Melepas Jenuh di Bungku, Morowali 


Dalam perjalanan pulang, kami singgah di sebuah sumur tua, yang orang-orang percaya sebagai 'air awet muda.' Namanya air keramat. Air tersebut keluar di sela-sela batu yang ada di pinggir jalan, di Desa Bahontobungku, Morowali.

Sumur itu telah disemen. Namun dibiarkan bocor di bawah. Menurut kesaksian masyarakat setempat, air di sumur tersebut tidak pernah berkurang dan tidak pernah bertambah. Airnya stagnan. Tidak pernah banyak meski musim hujan, juga tidak pernah berkurang meski musim kemarau. Itulah sebabnya orang-orang menyebutnya sebagai air keramat.

Air keramat tersebut dipercaya buat awet muda jika dipakai untuk cuci muka, dan tak jarang yang mengambilnya sebagai obat. Namun sumur ini sepi-sepi saja, mungkin karena daerah yang dipimpin Anwar Hafid ini telah memiliki tingkat religius yang tinggi, sehingga tak peduli lagi dengan kepercayaan seperti itu.

Sumur itu sebenarnya tempat bersejarah. Konon sumur itu pernah ditempat salah seorang raja di Bungku. Itu dapat terlihat di tulisan yang dibuat mahasiswa KKN Untad di samping sumur tersebut. Disana tertulis 'Disinilah tempat bersejarah orang Bungku, Raja Sangiang Kinambuka.'

Saya mencoba cuci muka dengan air keramat tersebut, hanya saja belum ada efet awet muda. Hahay... Namun yang jelas airnya jernih dan nyaman. Segar. Bersih. Sebab langsung dari mata air. Air itu membuat kami segar, kemudian melanjutkan perjalanan pulang.

Keesokan harinya, Selasa 17 Mei, kami pulang ke Kota Palopo. Perjalanan kami melewati danau Matano, di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur. (***)